Minggu, 10 Mei 2015


Efektivitas Cognitive Behavior Teraphy dalam Mengurangi Resiko Culture Shock     

            Manusia merupakan makhluk dinamis yang terus mengalami perkembangan. Setiap kali manusia memasuki lingkungan baru, manusia membutuhkan fase beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Salah satunya adalah ketika menjadi mahasiswa baru. Istilah mahasiswa baru (freshman) menurut kamus Oxford (Hornby,1995. h. 473) adalah  orang pada masa tahun pertama di Universitas. Mahasiswa tahun pertama umumnya berusia antara 17 sampai 20 tahun. Rentang usia tersebut menurut Sarwono (2001, h. 14) masih termasuk kategori remaja. Remaja dalam bahasa aslinya disebut “adolescence”  yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Remaja digambarkan oleh Hurlock (1997, h. 215) sebagai masa remaja yang penuh masalah dan membutuhkan banyak penyesuaian diri yang disebabkan karena terjadinya perubahan harapan sosial, peran dan perilaku. Lama tidaknya atau berhasil tidaknya fase beradaptasi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah pengalaman, kemampuan menyesuaikan diri, hingga culture lingkungan baru yang mendukung bagi individu yang bersangkutan untuk mampu beradaptasi.
            Perubahan eksternal dan internal yang dialami remaja yang menjadi mahasiswa memerlukan penyesuaian diri yang tepat. Mahasiswa tahun pertama yang tidak berhasil beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut mengalami berbagai masalah, termasuk dalam masalah membina hubungan dengan orang lain yang ada disekitarnya, baik itu dengan teman sesama mahasiswa, dosen serta pegawai akademik. Berdasarkan penelitian Voitkane (2001, dalam www.ispaweb.org) terhadap 607 mahasiswa tahun pertama Universitas Latvia didapat hasl bahwa 52,6 % mahasiswa mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan baru. Universitas sebagai institusi pendidikan bukan hanya membentuk indvidu pada domain intelektual, melainkan juga mencetak moral dan perlaku manusia agar dapat sesuai dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan norma sosial, kultural dan agama. Tidak terkecuali dalam hal menyesuaikan diri dengan lingkungan, aturan dan norma yang ada dilingkungan kampus. Adanya perbedaan cara belajar, perbedaan pola hubungan antara mahasiswa dengan pengajar, bahasa yang digunakan,  perbedaan ekstrakulikuler, membutuhkan kemampuan dan keterampilan yang mumpuni untuk dapat beradaptasi dengan baik.
            Program internasional yang dibuka oleh beberapa sekolah di dunia membuka kemungkinkan adanya siswa-siswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk belajar bersama-sama di tempat yang mereka datangi. Di Indonesia sendiri, semakin banyak dibuka sekolah internasional yang memungkinkan diterimanya pelajar dari negara lain untuk belajar di Indonesia. Demikian juga, tak kalah banyak, masyarakat Indonesia yang memilih untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah di luar negri yang mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan budaya baru.
            Di antara beberapa persoalan penyesuaian diri yang dialami para siswa ini, salah satu persoalan yang dianggap sebagai issue mendasar yang khas dialami oleh siswa-siswi internasional adalah adanya fenomena culture shock. Fenomena culture shock dianggap menjadi persoalan mendasar bagi para siswa internasioanal karena seringkali fenomena inilah yang menjadi akar dari berbagai kesulitan penyesuaian diri yang dialami oleh siswa-siswi internasional. Hal ini terjadi dikarenakan kultur bisa menjadi kompas bagi arah perilaku, dan menuntun cara berpikir dan berperasaan individu. Ketika individu berada dalam kultur yang berbeda, ia bisa mengalami kesulitan bila kompas yang digunakannya tidak menunjukkan arah yang sama dengan kompas budaya setempat. Mengingat hal itu, maka pembicaraan mengenai penyesuaian diri siswa-siswi internasional tidak dapat dilepaskan dari akar persoalan mereka saat berada di lingkungna yang baru, yaitu pengalaman culture shock.
            Istilah culture shock awalnya terdokumentasi dalam jurnal medis sebagai penyakit yang parah (berpotensi hilangnya nyawa seseorang), yang diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba dipindah ke luar negri (www.wzo.org.il/en/resources/view.asp?id=1445). Namun istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan oleh seorang sosiolog Kalervo Oberg di akhir tahun 1960. (dalam Irwin, 2007) mendefinisikan culture shock sebagai “penyakit” yang diderita oleh individu yang hidup di luar lingkungan kulturnya. Istilah ini mengandung pengertian adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara kultur maupun sosial baru.
            Definisi Adler (1975) lebih menekankan bahwa culture shock adalah suatu rangkaian reaksi emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan (reinforcement) yang selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak memiliki arti, dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan berbeda. Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang lain. 
            Guanipa (1998) menambahkan bahwa perasaan tidak nyaman akibat culture shock tidak hanya melulu reaksi emosioanl, tetapi juga meliputi reaksi fisik yang diderita individu ketika mereka berada di tempat yang berbeda dari tempat asalnya. Pengalaman ini juga bisa disebabkan bukan saja karena budaya, dan norma-norma masyarakat yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan, teknologi yang berbeda dari negara asal dengan negara yang didatanginya. Berbagai keberbedaan tadi menimbulkan perasaan asing, kehilangan orientasi dan kebingungan.
            Pengalaman culture shock ini sebenarnya dianggap hal yang wajar yang banyak dialami oleh individu yang berada dalam lingkungan yang baru (Guanipa, 1998). Hanya saja, tingkat gangguan yang dialami oleh individu tersebut bisa berbeda dari satu orang ke orang yang lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada dalam diri individu tersebut.
            Lin (2007) menemukan dalam penelitiannya terhadap anggota Organisasi Komunitas Mahasiswa Cina di Amerika, bahwa fenomena culture shock bersifat kontekstual dan dialami dengan berbeda-beda dari generasi ke generasi berikutnya. Artinya, faktor yang mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan sangat spesifik tergantung pada di daerah mana individu tersebut berasal, di daerah mana individu berada, serta pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat bervariasi.  
            Fenomena mengapa culture shock dapat terjadi bisa dipandang dari beberapa pendekatan. Chapdelaine (2004) mencatat paling tidak terdapat empat pendekatan dalam menjelaskan fenomena culture shock. Pendekatan ini meliputi pendekatan:
a)      Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian lintas budaya individu akan tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang tepat mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di lingkungan yang baru. Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai, menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru (Triandis dalam Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.
b)      Pendekatan Perilaku
Menurut pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami sistim “hadiah dan hukuman” yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun nonverbal dalam kultur tersebut (Anderson dalam Chapdelaine, 2004). Dalam hal ini, bisa saja terjadi, hal yang di kultur asal dianggap sebagai hal yang dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah, mungkin di kultur baru dianggap buruk, sehingga mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di Indonesia menanyakan “Mau kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum?” pada teman dianggap sebagai perhatian dan kepedulian. Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu mencampuri urusan orang dan membuat orang tersinggung.    
c)      Pendekatan Fenomenologis
Menurut pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman transisional dari kondisi kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran yang tinggi akan diri dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine, 2004). Menurut pendekatan ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan kolot”. Dalam proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini. Hal ini seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi individu tersebut.     
d)      Pendekatan sosiopsikologis
Pada pendekatan ini, meliputi
d.1. Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal dan kultur di tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya.
d.2. Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi karena individu tidak memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik dengan warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang begitu besar sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang baru.  
Penelitian Chapdelaine (2004) yang dilakukan terhadap 150 siswa pria di universitas internasional Canada, menemukan bahwa hal yang mendasari munculnya culture shock adalah adanya kesulitan-kesulitan sosial antara individu tersebut dengan penduduk asli dari negara yang didatanginya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa subjek penelitiannya melaporkan bahwa mereka memiliki lebih banyak kesulitan sosial di negara baru ini, dibandingkan saat mereka berada di negara asalnya.
             Lebih lanjut Chapdelaine juga menemukan bahwa culture shock yang dialami oleh individu berhubungan negatif dengan tingkat interaksi individu dengan penduduk asli. Semakin tinggi interaksi dengan penduduk asli maka semakin rendah culture shock yang dialami individu, sebaliknya, semakin rendah interaksi dengan penduduk asli, culture shock yang dialami semakin tinggi. Penelitian ini memberikan gambaran, bahwa tingkat interaksi dengan penduduk asli memiliki peranan dalam pengalaman culture shock pada individu.
            Hal ini mungkin terjadi karena culture shock sendiri muncul karena kurangnya pemahaman individu akan kultur baru yang dimasukinya. Kurangnya interaksi dengan penduduk asli menutup kemungkinan individu tersebut untuk mempelajari kultur baru yang dimasukinya, sehingga kesempatan untuk mengintegrasikan kultur baru dengan kultur lama yang dibawanya dari negara asal akan sulit untuk dilakukan.
            Menanggapi fenomena culture shock, penulis mengangkat pendekatan kognitif dan behavioral untuk mempelajari dan mengurangi kemungkinan terjadinya culture shock di lingkungan IAIN Tulungagung. Sejak tahun 2013 IAIN Tulungagung mulai membuka ruang studi untuk mahasiswa asing yaitu yang berasal dari Patani-Thailand Selatan.
            Pendekatan kognitif dan behavioral ini merupakan interpretasi penulis terhadap empat pendekatan yang ditawarkan Chapdelaine (2004). Terapi kognitif dan behaviorial ini dikenal dengan nama Cognitive Behavioral Theraphy (CBT), adalah pengobatan psikoterapi jangka pendek, berorientasi tujuan,  pendekatan praktis untuk pemecahan masalah. Tujuannya adalah untuk mengubah pola berpikir atau perilaku yang berada di balik kesulitan seseorang, dan mengubah cara mereka merasa.
            Penerapan CBT dalam proses pengurangan kemungkinan terjadi culture shock pada mahasiswa IAIN Tulungagung ini, akan membidik pola berfikir dan mengenalkan pada perilaku secara praksis terhadap mahasiswa baru yang berasal dari Negara Asing. Karena dengan pola berfikir yang positif mereka akan lebih tenang dan optimis akan mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungan belajar yang baru. Pengenalan perilaku secara praksis ini berorientasi membentuk pembiasaan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berbaur dengan warga atau mahasiswa lokal. Dengan terwujudnya ketenangan berfikir dan kemampuan berbaur dengan lingkungan sekitar, maka kecemasan yang akan membawa pada culture shock pun mampu berkurang.







1 komentar:

  1. How to Play Baccarat on PC - Free and Real Money
    Baccarat online is one of the most popular casino games for Indian 바카라 players and can play the game at choegocasino a real money casino. 온카지노

    BalasHapus