Efektivitas Cognitive Behavior Teraphy dalam Mengurangi
Resiko Culture Shock
Manusia merupakan makhluk dinamis
yang terus mengalami perkembangan. Setiap kali manusia memasuki lingkungan
baru, manusia membutuhkan fase beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Salah
satunya adalah ketika menjadi mahasiswa baru. Istilah mahasiswa baru (freshman)
menurut kamus Oxford (Hornby,1995. h. 473) adalah orang pada masa tahun pertama di Universitas.
Mahasiswa tahun pertama umumnya berusia antara 17 sampai 20 tahun. Rentang usia
tersebut menurut Sarwono (2001, h. 14) masih termasuk kategori remaja. Remaja
dalam bahasa aslinya disebut “adolescence” yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk
mencapai kematangan. Remaja digambarkan oleh Hurlock (1997, h. 215) sebagai
masa remaja yang penuh masalah dan membutuhkan banyak penyesuaian diri yang
disebabkan karena terjadinya perubahan harapan sosial, peran dan perilaku. Lama
tidaknya atau berhasil tidaknya fase beradaptasi tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain adalah pengalaman, kemampuan menyesuaikan diri,
hingga culture lingkungan baru yang mendukung bagi individu yang
bersangkutan untuk mampu beradaptasi.
Perubahan eksternal dan internal
yang dialami remaja yang menjadi mahasiswa memerlukan penyesuaian diri yang
tepat. Mahasiswa tahun pertama yang tidak berhasil beradaptasi dengan
lingkungan baru tersebut mengalami berbagai masalah, termasuk dalam masalah
membina hubungan dengan orang lain yang ada disekitarnya, baik itu dengan teman
sesama mahasiswa, dosen serta pegawai akademik. Berdasarkan penelitian Voitkane
(2001, dalam www.ispaweb.org)
terhadap 607 mahasiswa tahun pertama Universitas Latvia didapat hasl bahwa 52,6
% mahasiswa mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan baru. Universitas
sebagai institusi pendidikan bukan hanya membentuk indvidu pada domain
intelektual, melainkan juga mencetak moral dan perlaku manusia agar dapat
sesuai dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan norma sosial, kultural dan
agama. Tidak terkecuali dalam hal menyesuaikan diri dengan lingkungan, aturan
dan norma yang ada dilingkungan kampus. Adanya perbedaan cara belajar,
perbedaan pola hubungan antara mahasiswa dengan pengajar, bahasa yang
digunakan, perbedaan ekstrakulikuler,
membutuhkan kemampuan dan keterampilan yang mumpuni untuk dapat beradaptasi
dengan baik.
Program internasional yang dibuka
oleh beberapa sekolah di dunia membuka kemungkinkan adanya siswa-siswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk
belajar bersama-sama di tempat yang mereka datangi. Di Indonesia sendiri,
semakin banyak dibuka sekolah internasional yang memungkinkan diterimanya
pelajar dari negara lain untuk belajar di Indonesia. Demikian juga, tak kalah
banyak, masyarakat Indonesia yang memilih untuk mengirimkan anak-anak mereka
untuk bersekolah di luar negri yang mengharuskan mereka menyesuaikan diri
dengan budaya baru.
Di antara beberapa persoalan
penyesuaian diri yang dialami para siswa ini, salah satu persoalan yang
dianggap sebagai issue mendasar yang khas dialami oleh siswa-siswi
internasional adalah adanya fenomena culture shock. Fenomena culture
shock dianggap menjadi persoalan mendasar bagi para siswa internasioanal
karena seringkali fenomena inilah yang menjadi akar dari berbagai kesulitan
penyesuaian diri yang dialami oleh siswa-siswi internasional. Hal ini terjadi
dikarenakan kultur bisa menjadi kompas bagi arah perilaku, dan menuntun cara
berpikir dan berperasaan individu. Ketika individu berada dalam kultur yang
berbeda, ia bisa mengalami kesulitan bila kompas yang digunakannya tidak
menunjukkan arah yang sama dengan kompas budaya setempat. Mengingat hal itu,
maka pembicaraan mengenai penyesuaian diri siswa-siswi internasional tidak
dapat dilepaskan dari akar persoalan mereka saat berada di lingkungna yang
baru, yaitu pengalaman culture shock.
Istilah culture shock awalnya
terdokumentasi dalam jurnal medis sebagai penyakit yang parah (berpotensi
hilangnya nyawa seseorang), yang diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba
dipindah ke luar negri (www.wzo.org.il/en/resources/view.asp?id=1445).
Namun istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan
oleh seorang sosiolog Kalervo Oberg di akhir tahun 1960. (dalam Irwin, 2007)
mendefinisikan culture shock sebagai “penyakit” yang diderita oleh
individu yang hidup di luar lingkungan kulturnya. Istilah ini mengandung
pengertian adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang
harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami
oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara
kultur maupun sosial baru.
Definisi Adler (1975) lebih
menekankan bahwa culture shock adalah suatu rangkaian reaksi emosional sebagai
akibat dari hilangnya penguatan (reinforcement) yang selama ini
diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru
yang terasa tak memiliki arti, dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman
yang baru dan berbeda. Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak berdaya, mudah
tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena
ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang
lain.
Guanipa (1998) menambahkan bahwa
perasaan tidak nyaman akibat culture shock tidak hanya melulu reaksi
emosioanl, tetapi juga meliputi reaksi fisik yang diderita individu ketika
mereka berada di tempat yang berbeda dari tempat asalnya. Pengalaman ini juga
bisa disebabkan bukan saja karena budaya, dan norma-norma masyarakat yang
berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan, teknologi yang berbeda dari negara
asal dengan negara yang didatanginya. Berbagai keberbedaan tadi menimbulkan
perasaan asing, kehilangan orientasi dan kebingungan.
Pengalaman culture shock ini
sebenarnya dianggap hal yang wajar yang banyak dialami oleh individu yang
berada dalam lingkungan yang baru (Guanipa, 1998). Hanya saja, tingkat gangguan
yang dialami oleh individu tersebut bisa berbeda dari satu orang ke orang yang
lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada dalam diri individu tersebut.
Lin (2007) menemukan dalam
penelitiannya terhadap anggota Organisasi Komunitas Mahasiswa Cina di Amerika,
bahwa fenomena culture shock bersifat kontekstual dan dialami dengan
berbeda-beda dari generasi ke generasi berikutnya. Artinya, faktor yang
mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan sangat spesifik
tergantung pada di daerah mana individu tersebut berasal, di daerah mana
individu berada, serta pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat
bervariasi.
Fenomena mengapa culture shock dapat
terjadi bisa dipandang dari beberapa pendekatan. Chapdelaine (2004) mencatat
paling tidak terdapat empat pendekatan dalam menjelaskan fenomena culture
shock. Pendekatan ini meliputi pendekatan:
a) Pendekatan
Kognitif
Pendekatan ini
mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian lintas budaya individu akan
tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang tepat
mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di lingkungan
yang baru. Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena mereka
menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai, menginterpretasikan dan
berperilaku dalam lingkungan yang baru (Triandis dalam Chapdelaine, 2004). Hal
inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif karena perbedaan
cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa menimbulkan kesalahpahaman di sana
sini.
b) Pendekatan
Perilaku
Menurut
pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami
sistim “hadiah dan hukuman” yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim
hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun
nonverbal dalam kultur tersebut (Anderson dalam Chapdelaine, 2004). Dalam hal
ini, bisa saja terjadi, hal yang di kultur asal dianggap sebagai hal yang
dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah, mungkin di kultur baru dianggap
buruk, sehingga mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di Indonesia menanyakan
“Mau kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum?” pada teman dianggap sebagai perhatian
dan kepedulian. Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu mencampuri
urusan orang dan membuat orang tersinggung.
c) Pendekatan
Fenomenologis
Menurut
pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman transisional dari
kondisi kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran yang tinggi
akan diri dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine, 2004). Menurut
pendekatan ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi
menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi aspek
penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini dirinya
adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak melakukan
seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak
dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang digunakan di kultur
asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai “anak
ketinggalan jaman, kuno dan kolot”. Dalam proses inilah seringkali individu
mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan
mempertanyakan kembali konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini. Hal
ini seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi individu tersebut.
d) Pendekatan
sosiopsikologis
Pada pendekatan
ini, meliputi
d.1. Penyesuaian
psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal dan kultur di
tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa keterhilangan
di tempat yang baru bagi dirinya.
d.2. Penyesuaian
sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi karena individu tidak
memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik
dengan warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang
begitu besar sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang baru.
Penelitian
Chapdelaine (2004) yang dilakukan terhadap 150 siswa pria di universitas
internasional Canada, menemukan bahwa hal yang mendasari munculnya culture
shock adalah adanya kesulitan-kesulitan sosial antara individu tersebut
dengan penduduk asli dari negara yang didatanginya. Dalam penelitian ini
ditemukan bahwa subjek penelitiannya melaporkan bahwa mereka memiliki lebih
banyak kesulitan sosial di negara baru ini, dibandingkan saat mereka berada di
negara asalnya.
Lebih lanjut Chapdelaine juga menemukan bahwa culture
shock yang dialami oleh individu berhubungan negatif dengan tingkat
interaksi individu dengan penduduk asli. Semakin tinggi interaksi dengan
penduduk asli maka semakin rendah culture shock yang dialami individu,
sebaliknya, semakin rendah interaksi dengan penduduk asli, culture shock
yang dialami semakin tinggi. Penelitian ini memberikan gambaran, bahwa tingkat
interaksi dengan penduduk asli memiliki peranan dalam pengalaman culture
shock pada individu.
Hal ini mungkin terjadi karena culture
shock sendiri muncul karena kurangnya pemahaman individu akan kultur baru
yang dimasukinya. Kurangnya interaksi dengan penduduk asli menutup kemungkinan
individu tersebut untuk mempelajari kultur baru yang dimasukinya, sehingga
kesempatan untuk mengintegrasikan kultur baru dengan kultur lama yang dibawanya
dari negara asal akan sulit untuk dilakukan.
Menanggapi fenomena culture shock, penulis mengangkat
pendekatan kognitif dan behavioral untuk mempelajari dan mengurangi kemungkinan
terjadinya culture shock di
lingkungan IAIN Tulungagung. Sejak tahun 2013 IAIN Tulungagung mulai membuka
ruang studi untuk mahasiswa asing yaitu yang berasal dari Patani-Thailand
Selatan.
Pendekatan kognitif dan behavioral
ini merupakan interpretasi penulis terhadap empat pendekatan yang ditawarkan
Chapdelaine (2004). Terapi kognitif dan behaviorial ini dikenal dengan nama Cognitive Behavioral Theraphy (CBT),
adalah pengobatan psikoterapi jangka pendek, berorientasi tujuan,
pendekatan praktis untuk pemecahan masalah. Tujuannya adalah untuk mengubah
pola berpikir atau perilaku yang berada di balik kesulitan seseorang, dan
mengubah cara mereka merasa.
Penerapan CBT dalam proses
pengurangan kemungkinan terjadi culture
shock pada mahasiswa IAIN Tulungagung ini, akan membidik pola berfikir dan
mengenalkan pada perilaku secara praksis terhadap mahasiswa baru yang berasal
dari Negara Asing. Karena dengan pola berfikir yang positif mereka akan lebih
tenang dan optimis akan mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungan belajar
yang baru. Pengenalan perilaku secara praksis ini berorientasi membentuk
pembiasaan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berbaur dengan warga atau
mahasiswa lokal. Dengan terwujudnya ketenangan berfikir dan kemampuan berbaur
dengan lingkungan sekitar, maka kecemasan yang akan membawa pada culture shock pun mampu berkurang.
How to Play Baccarat on PC - Free and Real Money
BalasHapusBaccarat online is one of the most popular casino games for Indian 바카라 players and can play the game at choegocasino a real money casino. 온카지노